Korupsi dan Etika Politik: Telaah Fiqih Siyasah tentang Keadilan dan Akuntabilitas

Oleh: Laisya Ramadhani

Korupsi telah menjadi masalah yang merajalela di banyak negara, mengancam integritas sistem politik dan menghambat pembangunan ekonomi serta sosial. Artikel ini menyelidiki pandangan Fiqih Siyasah tentang korupsi, dengan fokus pada konsep keadilan dan akuntabilitas dalam Islam. Melalui telaah literatur dan analisis konsep-konsep kunci, artikel ini bertujuan untuk menyoroti pendekatan Islam terhadap masalah korupsi dalam konteks politik, serta mengeksplorasi solusi yang ditawarkan oleh Fiqih Siyasah untuk menangani permasalahan ini.

Kata Kunci: Korupsi, Etika Politik, Fiqih Siyasah, Keadilan, Akuntabilitas

Pendahuluan

Bangsa Indonesia sedang menghadapi situasi yang sangat kompleks, termasuk krisis multidimensional serta masalah lain yang menyangkut nilai-nilai masyarakat yang mendesak untuk segera diatasi. Salah satu permasalahan yang sangat serius adalah korupsi yang terus berlanjut tanpa penyelesaian yang jelas.

Korupsi tidak hanya terjadi di kalangan pejabat eksekutif, tetapi juga meluas ke kalangan legislatif dan yudikatif, dari tingkat pusat hingga daerah. Seperti penyakit yang merajalela, praktik korupsi telah merasuki hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kondisi yang semakin memburuk membuat beberapa orang berpendapat bahwa korupsi telah menjadi bagian dari budaya dan bahkan menjadi seperti virus yang harus segera diatasi bersama-sama. Beberapa lembaga bahkan mengakui bahwa Indonesia telah menjadi bangsa yang korup. Tingkat keparahan yang mencapai titik tersebut diakui oleh pengamat sosial politik J. Kristiadi, yang menyebutkan bahwa korupsi sudah meresap menjadi bagian dari kultur bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, penting untuk melihat korupsi dari sudut pandang Fiqih Siyasah, yang merupakan cabang ilmu fiqh yang mempelajari prinsip-prinsip tata kelola negara dan politik dalam Islam. Fiqih Siyasah memberikan kerangka kerja yang unik untuk memahami permasalahan seperti korupsi, dengan menekankan pada konsep-konsep seperti keadilan dan akuntabilitas.

Dalam tulisan ini, akan dilakukan telaah mendalam tentang hubungan antara korupsi dan etika politik dalam konteks Fiqih Siyasah. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat ditemukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana prinsip-prinsip Fiqih Siyasah dapat membantu dalam memerangi korupsi dan membangun tatanan politik yang lebih bersih dan berintegritas.

Konsep Korupsi dalam Islam

Perspektif Islam tentang korupsi tidak dapat dipisahkan dari ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama dalam agama ini. Islam dikenal sebagai agama yang lengkap dan universal, yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), tetapi juga hubungan antara sesama manusia (hablum minannas), serta hubungan antara manusia dan alam (hablum minal ‘alam). Oleh karena itu, Islam memberikan pandangan yang komprehensif mengenai beberapa prinsip agar hubungan antar manusia menjadi harmonis dan beradab.

Islam juga mengembangkan sistem peraturan dan undang-undang yang tegas serta memiliki mekanisme pengawasan administratif dan manajerial yang ketat. Oleh karena itu, dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, Islam menegaskan bahwa tidak boleh ada pandang bulu, apakah pelaku tersebut seorang pejabat atau bukan. Tujuan dari hukuman tersebut adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku agar dapat menghentikan kejahatannya, sehingga tercipta suasana damai dan rukun di tengah-tengah masyarakat.

Korupsi secara definitif juga ditandai oleh sejumlah interpretasi keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama, misalnya, menganalogikan korupsi dengan al-ghulul, sebuah istilah yang diambil dari ayat al-Qur’an surat Ali Imran ayat 161: Artinya;

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.

Yang dimaksud dengan ghulul dalam ayat di atas ialah mengambil secara sembunyi-sembunyi milik orang banyak. Jadi, pengambilan itu sifatnya semacam mencuri. Dapat dipahami bahwa pengertian denotatif dari ayat ini adalah “pengkhianatan atau penyelewengan”.

 Namun, dalam wilayah perkembangan kajian fiqh (Islam), khususnya dalam konteks kekinian atau permasalahan kontemporer, istilah ini didefinisikan setara dengan korupsi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan alghulul (korupsi), al-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa korupsi dan praktik suap “sangat keras” larangannya dalam agama. Sementara pemberian hadiah bagi para pejabat, sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan dan fasilitas dari negara atas tugas-tugasnya.

Keadilan dan Akuntabilitas Prespektif Fiqih Siyasah

Keadilan menjadi prinsip utama dalam Fiqh dan juga dalam politik. Menurut Fiqh, pemimpin harus bertindak adil kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang mereka. Dalam konteks politik kontemporer, prinsip ini berarti bahwa pemimpin harus membuat kebijakan yang adil dan tidak memihak, serta memberikan hak dan peluang yang sama kepada semua warga. Misalnya, dalam pembuatan kebijakan publik, pemimpin harus memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak mendiskriminasi kelompok tertentu dan memberikan manfaat yang sama bagi semua orang.

Berikut adalah beberapa poin penting tentang keadilan dalam literatur Fiqih Siyasah:

  1. Keadilan sebagai Prinsip Dasar: Dalam Fiqih Siyasah, keadilan dianggap sebagai prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi dalam semua keputusan dan tindakan pemerintah. Ini mencakup keadilan dalam distribusi sumber daya, perlakuan yang adil terhadap semua warga negara, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
  2. Keadilan dalam Penegakan Hukum: Fiqih Siyasah menekankan perlunya penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. Hukuman harus diberikan secara proporsional sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, tanpa memandang status sosial atau kedudukan seseorang.
  3. Keadilan Sosial: Selain keadilan dalam konteks hukum, Fiqih Siyasah juga menekankan pentingnya keadilan sosial. Ini mencakup distribusi kekayaan dan sumber daya secara adil, serta perlindungan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan dalam masyarakat.
  4. Keadilan dalam Pemerintahan: Fiqih Siyasah memberikan panduan tentang bagaimana sebuah pemerintahan harus beroperasi secara adil dan transparan. Hal ini meliputi proses pengambilan keputusan yang partisipatif, akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat, dan pencegahan terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
  5. Keadilan Internasional: Fiqih Siyasah juga mencakup konsep keadilan dalam hubungan antar negara. Ini mencakup prinsip-prinsip seperti perdamaian, kerjasama internasional yang adil, dan perlindungan terhadap hak-hak manusia di tingkat global.

Dalam literatur Fiqih Siyasah, keadilan dipandang sebagai fondasi yang penting dalam pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Prinsip-prinsip keadilan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga harus diimplementasikan dalam praktik pemerintahan dan kehidupan sosial.[5]

Selain itu adanya akuntabilitas dalam konsep pencegahan korupsi. Berdasarkan sifat-sifat pengetahuan dalam Islam, penulis memaparkan konsep akuntabilitas dalam Islam, sebagai solusi alternatif dari akuntabilitas barat. Dalam Islam, konsep ini muncul pada:

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (disisi Allah) dan yang mencatat (pekeijaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. A1 Infithaar 10-12)”

“(Allahberfirman) “Inilah ftitab( Catalan)Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan’’. (Q.S. A1 Jaatsiyah 29)”

Dua surat dalam A1 Quran di atas adalah sebagian dari banyak perintah Allah dalam agama Islam kepada manusia untuk memperhatikan aspek akuntabilitas dalam setiap tindakannya. Islam adalah agama yang sangat mengutamakan akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Konsep akuntabilitas dalam Islam diturunkan dari dua pijakan utama, konsep tauhid dan konsep kepemilikan.

Tela’ah Korupsi dalam Konsep Keadilan dan Akuntabilitas Presfektif  Fiqih Siyasah

Secara normatif-tekstual, tindak pidana korupsi yang dirujuk dari istilah al-ghulul jelas keharamannya. Dari segi hukum undang-undang, seseorang dianggap sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi bila telah memenuhi dua kriteria; Pertama, melawan secara hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu, ia telah melakukan korupsi moral. Sebab, dengan perilaku korupnya, ia sesungguhnya telah melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral dan hati nurani yang diwariskan para pendahulu.

Dari segi hukum Islam, kasus korupsi termasuk dalam wilayah mu’amalah maliyah (sosial-ekonomi) atau fiqh siyasah (hukum tata negara). Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mampu membentuk kesadaran moral manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat. Al-Qur’an juga mempunyai perangkat teoretis untuk memberantas korupsi, seperti melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas jadi penguasa.

Selain ayat-ayat al-Qur’an seperti dikemukakan di atas, juga terdapat pula beberapa hadits yang dapat mendukung ayat-ayat tersebut, antaranya:

Artinya; Dari Aisyah ra, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi (Riwayat Bukhari-Muslim).

Artinya; Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya kamu sekalian nanti pada hari kiamat diperintahkan untuk mengembalikan semua hak kepada yang berhak, sehingga kambing yang bertanduk (dan sewaktu di dunia pernah ditanduk) diberi hak untuk membalas kambing yang bertanduk (Riwayat Muslim).

Menurut analisa penulis, Korupsi adalah tindakan yang jelas disalahkan dalam Islam. Dalam konteks Fiqih Siyasah, korupsi menjadi fokus kajian yang penting karena melanggar prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas yang merupakan pondasi utama dalam tata kelola negara Islam. Dalam telaah ini, akan dijelaskan bagaimana konsep korupsi dipahami dalam kerangka keadilan dan akuntabilitas menurut perspektif Fiqih Siyasah.

Dalam Fiqih Siyasah, korupsi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas. Ini mencakup penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat secara keseluruhan.

Fiqih Siyasah menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan proporsional dalam menangani kasus korupsi. Hukuman harus diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan tanpa pandang bulu, tanpa memandang status atau kedudukan pelaku korupsi.

Fiqih Siyasah menegaskan pentingnya akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Para pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan mereka dan siap mempertanggungjawabkan setiap kebijakan dan penggunaan dana publik. Ini termasuk menghindari praktik korupsi dan menjamin transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.

Pemberantasan Korupsi sebagai Kewajiban Dari perspektif Fiqih Siyasah, pemberantasan korupsi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat. Masyarakat harus aktif dalam mengawasi dan melaporkan praktik korupsi, serta mendukung upaya-upaya pemerintah dalam memerangi korupsi demi terciptanya tata kelola negara yang bersih dan adil.

Kesimpulan

Dalam perspektif Fiqih Siyasah, korupsi dipandang sebagai perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas yang menjadi dasar dalam tata kelola negara Islam. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang adil, transparan, dan berintegritas.

Telaah mengenai korupsi dalam konsep keadilan dan akuntabilitas menyoroti urgensi penegakan nilai-nilai moral dalam tata kelola negara Islam. Korupsi dipandang sebagai penyimpangan serius yang merusak fondasi keadilan sosial dan prinsip akuntabilitas dalam masyarakat. Selain itu, pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga merupakan tugas bersama seluruh masyarakat. Diperlukan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan praktik korupsi, serta mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mewujudkan tata kelola yang bersih dan berintegritas.

Dengan memahami konsep korupsi dalam konteks keadilan dan akuntabilitas menurut Fiqih Siyasah, diharapkan masyarakat dapat memperkuat komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tercipta lingkungan yang lebih adil, transparan, dan berdaya guna bagi kemajuan bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *